... Di Jatinegara kita kan berpisah. Berilah nama, alamat serta. Esok lusa boleh kita jumpa pula....
BEGITULAH Ismail Marzuki mengabadikan romantisisme Stasiun Jatinegara pada masa perjuangan. Tempat berpisah untuk berjumpa kembali berkat kuda besi bertenaga uap dan juga bertenaga listrik.
Ya, Stasiun Jatinegara di Jakarta Timur tak hanya menjadi tempat para pejuang tiba di Ibu Kota, tetapi juga menjadi stasiun perintis elektrifikasi kereta dalam kota Batavia pada 1925.
Sejak tahun itu hingga saat ini, sistem jaringan kereta rel listrik (KRL) di Ibu Kota pada dasarnya tak berubah. Jaringan tiang meliputi tiang dan bentangan kawat yang mengalirkan listrik ke KRL zaman sekarang masih bertumpu pada sistem jaringan listrik kuno itu.
Stasiun Jatinegara berdiri pada 1910 dan pada masa itu dikenal sebagai Stasiun Meester Cornelis. Stasiun tersebut menjadi stasiun pertama yang digunakan sebagai tempat gardu listrik KRL.
Gardu listrik tua itu hingga detik ini masih berdiri kokoh dan tetap berfungsi sebagai pemasok listrik jaringan KRL. Letaknya berada di sisi utara arah barat dari peron stasiun.
Di dalam gardu listrik KRL tersebut masih terpasang katrol berukuran sangat besar menggantung di langit-langit. Menurut Endrawan, salah satu teknisi di gardu, katrol itu dulunya digunakan untuk memindahkan panel-panel listrik.
Namun, sekarang, katrol tersebut sudah tak lagi difungsikan karena panel listrik yang digunakan kini lebih sederhana dan berukuran lebih kecil.
Layaknya gedung-gedung peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, gardu listrik KRL ini juga memiliki ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah itu berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara sehingga bisa memberikan hawa dingin di dalam gedung.
Gardu listrik kuno itu berdiri berdampingan dengan gardu listrik PLN Jatinegara yang juga dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada 1924. Gardu listrik PLN itu didirikan di sana guna memasok kebutuhan listrik untuk gardu listrik KRL. Pasokan listrik diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ubrug di Sukabumi, Jawa Barat.
Pada era modern saat ini, gardu listrik PLN itu pun tetap berdiri kokoh, lengkap dengan panel-panel listrik dan trafo. Gardu yang masih memasang papan nama berejaan lama, PLN Djatinegara, itu juga masih menggunakan panel berukuran besar dengan indikator daya listrik yang menonjol ke depan.
Di dalam gardu ini juga masih tersimpan trafo bergerak raksasa dengan tinggi 3 meter, lebar 1,5 meter, dan tebal hampir 1 meter. Trafo bergerak berdiri di atas lantai bordes kereta, lengkap dengan roda kereta dan relnya sepanjang 5 meter.
Adam, penjaga gardu listrik PLN Jatinegara, mengungkapkan, semua panel listrik di gardu itu sudah tak digunakan selama sepuluh tahun terakhir. Namun, peralatan listrik kuno di gardu itu tetap dilestarikan dan dibersihkan tiap hari.
Stasiun strategis
Pasokan listrik ke gardu listrik PLN Jatinegara kini langsung diambil dari jaringan koneksi Jawa-Bali. Menurut Endrawan, pasokan listrik untuk gardu Jatinegara itu tak pernah terputus karena sangat dibutuhkan untuk pengangkutan penumpang.
Mengapa Stasiun Jatinegara dipilih sebagai stasiun perintis elektrifikasi ini? Menurut Executive Vice President Conservation, Maintenance, and Architecture Design PT Kereta Api Indonesia Ella Ubaidi, Stasiun Jatinegara dipilih karena letaknya yang menghubungkan jaringan rel di Stasiun Tanjung Priok hingga ke Cikampek.
Stasiun Tanjung Priok kala itu merupakan stasiun strategis untuk mengangkut penumpang dan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok ke sejumlah daerah di Batavia dan kota di Jawa. S Nyff, pemimpin urusan pekerjaan umum Pemerintah Hindia Belanda, pertama merintis elektrifikasi kereta di Batavia pada 1921. Proyek ini menjadi babak pertama dibukanya sistem angkutan massal yang ramah lingkungan di kota urban itu.
Berhasil membangun jaringan KRL rute Tanjung Priok-Jatinegara, Pemerintah Hindia Belanda terus mengembangkan jaringan KRL rute Jakarta Kota- Bogor yang dioperasikan pada 1930. Rute Jatinegara-Bogor yang melintasi stasiun-stasiun di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan itu merupakan jalur melingkar tertua.
Menurut Ella, pada masa Hindia Belanda, setiap stasiun di Batavia terintegrasi dengan angkutan trem. Jaringan listrik KRL itu sebagian terhubung dengan jaringan listrik trem yang banyak beroperasi di wilayah Jakarta Pusat, seperti Senen, Menteng, dan Lapangan Banteng. ”Pada masa itu, Jakarta Pusat sudah berkembang menjadi permukiman kota daripada wilayah lainnya,” katanya.
Kereta-kereta bertenaga listrik waktu itu didatangkan dari sejumlah negara Eropa, salah satunya Jerman. KRL kuno itu pun masih tersimpan baik di Stasiun Manggarai. Kereta itu disebut kereta bon-bon karena konon klaksonnya berbunyi ”bon-bon”.
Hingga kini, Stasiun Jatinegara menjadi salah satu stasiun transit paling sibuk di Jakarta. Kisah Jatinegara memang tak akan padam hingga esok lusa dan jauh setelah itu. (MADINA NUSRAT)
Sumber Kompas, Senin 15 Desember 2014 Halaman 26
Monday, December 15, 2014
Riwayat Kota Di Stasiun Jatinegara, Sejarah KRL Dimulai
Labels:
informasi,
Jatinegara,
KRL,
Stasiun
Posted by
tokosarana
at
December 15, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment